HUTANG PIUTANG DAN RIBA
Disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah
“FIQIH 1”
Dosen Pengampu:
Kholisuddin M.H.I
Disusun oleh:
Luthfiyah (932128414)
Sylvina Dwi Nugrahawati (932120414)
Dewi Raudlatul Ilmi (932114114)
Septi Nihayati (932140914)
JURUSAN
TARBIYAH
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KEDIRI
Tahun Akademik
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu
‘alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayahnya sehingga saya
sebagai penulis dapat
menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah “FIQIH 1”.
Sholawat Serta salam mudah-mudahan tetap tertcurahkan kepada
junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW,
yang telah menuntun kita dari jalan kegelapan
menuju jalan terang benderang
yakni ‘Addinul Islam.
Dan tak lupa saya sebagai penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang
telah mendukung penyusunan makalah ini.
Saya sadar dalam penulisan makalah
ini masih jauh dari kata sempurna maka
dari itu kritik dan saran sangat saya harapakan untuk memperbaiki penyusunan makalah yang berikutnya.
Wassalamu
‘alaikum Wr. Wb
Kediri, 06 September 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Sampul
Kata
Pengantar………………………………………………………………………………..i
Daftar
Isi…………………………………………………………………………………........ii
BAB
I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………………..…..1
B. Rumusan Masalah…………………………………………….……………..…....1
BAB
II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Riba…………………………………………………………………....2
B. Pengertian Utang
Piutang……………………………...........……………...…......5
BAB
III : PENUTUP
Kesimpulan………………………………………………………………………….....12
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUHAN
- Latar belakang
Manusia adalah makhluk sosial,
yakni yaakni tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain dalam
memenuhi segala kebutuhannya. Terutama dalam hal muamalah, seperti riba, dan
hutang piutang. Baik dalam urusan diri senditi maupun utnuk kemaslahatan umum.
Namun sering dalam kehidupan sehari-hari banyak kita temui kecurangan-kecurangan
dalam urusan muamalah ini, seperti riba yang sangat meresahkan dan merugikan
masyarakat. Denagan adanya riba secara tidak langsung mereka memeras orang
miskin. Dan mengakibatkan permusuhan antar masyarakat. Sehingga kemaslahatan
masyarakat sulit untuk dijaga. Untuk menjawab segala problem tersebut, agama
memberikan peraturan dan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kita yang telah
diatur sedekimian rupa dan bermaktub dalam al-qur’an dan hadis. Agama
menganjurkan untuk saling tolong menolong, sperti dalam hutang piutang tetapi
yang tidak mendung unsure riba. Seseorang yang menghutangi seseorang sampai dua
kali sama dengan sedekah satu kali seperti harta yang dihutangkan.
- Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud riba ?
2. Apa yang dimaksud dengan utang piutang ?
BAB
II
PEMBAHASAN
- Riba
Riba merupakan salah satu usaha
mencari rizki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah. Praktik riba
mengutamakan kepentingan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain.
a) Pengertian dan Hukum Riba
v Riba dalam arti bahasa berasal dari
kata: “raba” yang sinonimnya namawa zada, yang artinya tumbuh dan
bertambah. Seperti dalam Surah Al-Hajj ayat 5:
وَتَرَى
آلأَرْضَ هَا مِدَةً فَإِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
وَاَنْبَتْ
مِنْ كُلِّ زَوْجِ بَهِيْجٍ (5 )
Artinya:
Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian
apabila telah kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan
menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.[1]
Sedangkan riba
menurut istilah adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang
memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uang) karena pengunduran
janji pembayaran oleh peminjaman dari waktu yang telah ditentukan (pendapat
Syekh Muhammad Abdul).
v Hukum Riba
Hukum
melakukan riba adalah haram, berdasarkan Al-qur’an, sunnah, dan ijma’ para
Ulama. Dalam Al-qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, diantaranya:
Surah
Al-baqarah ayat 275
......وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الّرِبَوا.....
“……
Padahal Allah telah menghalalka jual
beli dan mengharamkan riba…. “
Surah
Ali- Imran ayat 130:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ
اَمَنُوْالاَتَأْكُلُوْاالرَّبَوآأَضْعَفًامُضَعَفَةً وَتَّقُوْاللهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ (العمران:12)
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan harta riba secara berlipat ganda
dan takutlah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan."[2]
Dan dari As-Sunnah terdapat beberapa
hadis yang isinya melarang perbuatan riba, diantaranya: Hadis Abdullah ibnu
Mas’ud
عَنْ
اِبْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَكِلَ الرِّبَا
وّمُوْكِلَهُ
وَشَاهِدَهُ وَكَاتِبَهُ.
Artinya:
Dari
Ibnu Mas’ud ia berkata: Rasulullah mengutuk orang yang memakan riba, orang yang
mewakilinya, dan orang yang menulisnya. (HR. At- Tirmidzi).[3]
Sudah jelas bahwa riba termasuk
dosa besar yang diharamkan semua agama karena mengandung bahaya besar di
dalamnya. Diantaranya, sebagai pemicu permusuhan dimasyarakat, menutup pintu
sedekah dan berbuat baik. Riba juga merupakan sikap memakan harta orang lain
dengan kebatilan. Tidak ada seorang pun yang sering bertransaksi dengan riba
kecuali kondisi hartanya, pada hakikatnya akan merosot menjadi sedikit. Hukuman bagi orang yang sangkut paut dengan riba
hukuman paling ringan adalah seperti orang menikahi ibu kandungnya sendiri.[4]
b) Macam-Macam Riba
Riba
terdiri dari dua macam, diantaranya:
1) Riba Nasi’ah
yaitu melebihkan pembayaran
yang dipertukarkan, diperjual belikan, atau diutangkan karena dikhawatirkan
waktu membayarnya, baik sama sejenisnya maupun tidak. Riba
nasi’ah
ini dilakukan oleh kaum jahiliyah sebelum datangnya agama Islam. Andaikan
peminjaman belum dapat juga dapat mengembalikan pokok pinjamanya itu dan dia
meminta tangguh, pihak pinjaman dapat menerima, tetapi dengan syarat agar pokok
pinjaman itu dikembalikan lebih dari semula. Umpanya, pokok yang dikembalikan
pada bulan ini Rp. 1.000, 00 kalau dikembalikan pada bulan yang akan datang,
harus dilebihi sampai menjadi Rp. 1.500,00 misalnya. Maka Allah menurunkan
Qur’an Surat Ali- Imran ayat 130.
2) Riba Fadhal
Hanafiyah
memberikan definisi riba fadhal
رِبَا
الْفَضْلِ بِأَنَّهُ زِيَادَتةُ عَيْنِ مَالٍ فِيْ عَقْدِ بَيْعٍ عَلىَ الْعِمْيَارِ
الشَّرْعِيِّ
(وَهُوَالْكَيْلُ
اَوِالْوَزْنُ) عِنْدَاتِّحَادِالْجِنْسِ
Artinya:
Riba
fadhal adalah tambahan benda dalam akad jual beli (tukar-menukar) yang
menggunakan ukuran syara’ ( yaitu literan atau timbangan) yang jenis barangnya
sama.
Dari definisi yang dikemukakan diatas
dapat diambil intisari bahwa riba fadhal adalah tambahan yang
disyaratkan dalam tukar-menukar barang yang sejenis (jual beli barter) tanpa
adanya imbalan untuk tambahan tersebut. Misalnya, menukarkan beras ketan 10
kilogram dengan beras ketan 12 kilogram. Tambahan 2 kg ketan tersebut tidak ada
imbalanya, oleh karena itu disebut riba fadhal (riba karena berlebihan).
Dengan demikian, apabila barang yang ditukarkan jenisnya berbeda maka hukumnya
dibolehkan dan tidak termasuk riba. Misalnya menukarkan beras biasa 10 kilogram
dengan beras ketan 8 kilogram.[5]
c) Hikmah Dilarangnya Riba
Adapun sebab dilarangnya riba adalah dikarenakan riba
menimbulkan kemudaratan yang besar bagi umat islam. Kemudaratan tersebut antara
lain:
1. Riba menyebakan menyebabkan permusuhan
antara individu yang satu dengan yang alin, dan menghilangkan jiwa menolong
diantara mereka. Padahal semua agama terutama islam sangat mendorong sikap
tolong menolong.
2. Riba mendorong terbentuknya kelas elite,
yang tanpa kerja keras mereka mendapat harta, seprti benalu yang setiap saat
menghisap orang lain. Padahl islam mengagungkan dan menghormati orang bekerja.
3. Riba merupakan wasilah atau perantara terjadinya
penjajahan dibidang ekonomi, di mana orang-orang kaya menghisap dan menindas
orang-orang miskin.
4. Dalam hal ini islam mendorong
umatnya agar mau memberikan pinjaman kepada orang lain yang membutuhkan dengan
modal “pinjaman tanpa bunga”
2.
Utang
Piutang
a. Pengertian Qardh
Utang piutang atau qardh dalam
arti berasal dari kata: qaradha yang sinonimnya: qatha’a artinya
memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian hartanya
untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtaridh).
Dalam
pengertian istilah, qardh didefinisikan oleh sebagai berikut,
اَلْقَرْضُ
هُوَمَا تُعْطِيْهِ مِنْ مَالٍ مِثْلِيٍّ لِتَتَقَاضَاهُ, اَوْبِعِبَارَةٍ أُخْرَى
هُوَعَقْدٌمَخْصُوْصٌ
يَرُدُّعَلَى
دَفْعِ مَالٍ مِثْلِيٍّ لِآخَرَ لِيَرُدَّمِثْلَهُ
Artinya:
Qardh
adalah harta yang diberikan orang lain dari mal mistli untuk kemudian dibayar
atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalh suatu perjanjian
yang khusus untuk menyerahkan harta benda (mal mistli) kepada orang lain untuk
kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.
Dari definisi diatas, dapat diambil
intisari bahwa qardh adalah suatu akad antara dua belah pihak, dimana
pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan
dengan ketentuan uang tau barang uang tersebut harus dikembalikan persis
seperti yang ia terima dari pihak pertama.
b. Rukun dan syarat qardh
Seperti jual
beli, rukun qardh juga diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut
hanafiah, rukun qard adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur
fuqaha, rukun qardh adalah
i. Aqid,
yaitu muqridh dan muqtaridh
Untuk aqid, baik muqtaridh maupun muqridh disyaratkan
harus orang yang dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul
ada’, Oleh karena itu, qardh tidak sah apabila dilakukan oleh anak dibawah umur
atau orang gila. Syafi’iyah memberikan persyaratan
untuk muqridh,
antara lain
1. Kecakapan untuk melakukan tabarru’
2. Memiliki pilihan
Sedangkan
untuk muqtaridh disyaratkan harus memiliki kecakapan untuk melakukan
muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak mahjur ‘alaih.
ii. Ma’qud ‘alaih,
yaitu uang atau barang
Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah, yang menjadi objek akad dalam qardh berupa
barang-barang yang ditakar dan ditimbang, maupun barang-barang yang tidak ada
persamaannya di pasaran, seperti hewan, barang dagangan, dan barang yang
dihitung. Dengan kata lain, setiap barang yang
boleh dijadikan objek jual beli, boleh pula dijadikan akad qardh.
iii. Shighat, yaitu ijab dan qabul
Qardh
adalah suatu akad kepemilikan ats harta. Oleh karena itu akad tidah sah kecuali
dengan adanya ijab dan qobul, sama seperti akad jual beli dan hibah. Shigat ijab bisa dengan
menggunakn lafal qardh (utang atau pinjam) dan salaf (utang), atau dengan lafal
yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “Saya milikkan kepadamu barng ini,
dengan ketentuan anda harus mengembalikan kepada saya panggantinya”. Penggunaan
kata milik disini bukan berarti diberikan cuma-
cuma, melainkan
pemberian utang yang harus dibayar.
Penggunan lafal salaf untuk qardh didasarkan kepada hadis Abu Rafi’
Artinya:
Dari
Abu Rafi’ ia berkata: “Nabi beruntung seekor unta perawan, kemudian datanglah
unta hasil zakat. Lalu Nabi memerintahkan kedapa saya untuk membayar kepadan
laki-laki pemberi utang dengan unta yang sama (perawan). Saya berkata: ‘Saya
tidak menemukan ubta-unta hasil zakat iyu kecuali unta pilihan yang berumur
enam masuk tujuh tahun.” Nabi kemudian bersabda: ‘Berikan saja kepadanya unta
tersebut, karena sesungguh nya sebaik-baik manusia iti adalah orang yang paling
dalam membayar utang.” (HR. Jama’ah kecuali Al-Bukhori)”
c. Dasar Hukum Disyaratkan qardh dan
hikmahnya
Qardh
merupakan perbuatan baik yang diperintah Allah dan Rasul. Dalam ak-qur’an,
qardh disebutkan dalam beberapa ayat, antara lain:
Surah
al-baqarah ayat 245
مَنْ ذَالَّذِيْ يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا
فَيُضَعِفَهُ لَهُ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً وَاللهِ يَقْبِضُ وَيَبْصُطُ وَاِلَيْهِ
تُرْجَعُوْنَ
Artinya:
Siapakah
yang memberi
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik(menafkahkan di jalan Allah), maka
Allah akan memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak. Dan Allah menyempitkan dan melampangkan (rezeki) dan kepada-Nya_lah
kamu dikembalikan.
Ayat-ayat tersebut pada dasarnya berisi
anjuran untuk melakukan perbuatan qardh (memberikan utang) kepada orang lain,
dan imbalanya adalah akan dilipatgandakan oleh Allah. Dari sisi muqaridh (orang
yan memberi utang), islam menganjurkan kepada umatnya untuk memberikan bantuan
untuk orang lain yang membutuhkan dengan cara memberi utang. Dari sisi
muqtaridh, utang bukan perbuatan yang dilarang, melainkan dibolehkan karena
orang berutang dengan tujuan untuk memanfaatkan barang atau uang yang
diutangnya itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan ia akan mengembalikan
persi seperti yang diterimanya. Dalam kaitan hal ini ada beberapa hadis yang
memeberi anjuran untuk membantu orang lain, antra lain: Hadis Ibnu Mas’ud
Artinya:
Dari
Abdullah ibnu mas’ud bahwa sesungguhnya Nabi SAW. Bersabda: Barang siapa yang
memeberikan utang atau pinjaman kepada Allah dua kali, maka ia akan memeperoleh
pahala seperti pahala salah satunya andaikata ia menyedekahkanya. (HR. Ibnu
Hibban).
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa
qardh merupakan perbutan yang dianjurkan, yang akan diberi imba;lan kepada
Allah. Adapun hikmah disyariatkan qardh dilihat dari sisi yang menerima utang
adalah membantu mereka yang membutuhkan. Dilihat dari sis pemberi utang
(muqridh), qardh dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan
perasaanya, sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dihadapi oleh saudara,
teman, dan tetangganya.
d. Empat kriteria orang yang berutang
Ø Tidak memiliki sama sekali. Dalam hal
ini wajib diberi kelonggaran penagguhan tempo kepadanya dan tidak menagih
pembayaran kewajibanya. Memberikan tangguhan tempo orang yang kesulitan
merupakan akhalak mulia, dan terlebih terlebih lagi membebaskanya.
Ø Mempunyai harta melebihi jumlah utang
yang ditanggungnya. Dalam kondisi ini boleh diminta , dan ia wajib membayarnya.
Kewajiban bagi orang yang berhutang untuk cepat-cepat mengembalikan segala
sesuatu yang dihutangnya jika ia sudah memiliki apa yang telah dihutangnya. Dan
mempercepat pelunasan hutang sebelum meninggal karena agar tidak menjaadi beban
bagi orang ditinggalkanya dan ia akan disandera oleh utangnya sampai utang
tersebut dilunasi.
Ø Mempunyai harta sebesar jumlah utangnya,
maka ia wajib mambayar utangnya.
Ø Mempunyai
harta lebih sedikit dari jumlah hutangnya, maka dia termasuk orang yang pailit
yang terlarang menggunakan hartanya berdasrkan atas permintaan pemberi utang
atau sebagainya. Sedangkan harta dibagi-bagikan kepada para pemberi utang.
Peminjaman utang wajib bertekad
mengembalikan utangnya, jika tidak niscaya Allah akan membinasakanya. Berbuat
baik saat mengembalikan pinjaman sangat disunnahkan, selama tidak ada prasyarat
sebelumnya. Hal tersebut merupakan sikap pembayarn yang baik dan sikap mulia.
Siapa yang meminjamkan seorang muslim sebanyak dua kali, seakan-akan sedekah
kepadanya satu kali.[6]
Disunnahkan
berbuat baik saat mengembalikan utang, selama tidak ada pra syarat. Seperti
meminjam satu ekor unta muda kemudian kemudian menggantinya yang lebih baik.
Hal ini merupakan hal pembayaran yang baik dan akhlak mulia. Apabila kondisi
kondisi orang yang berutang sedang berada dalam kesulitan dan tidk kemampuan,
maka kepada kepada orang yang memberikan utang dianjurkan untuk memberikan
kelonggaran dengan menunggu sampai dia mampu membayar utangnya. Tetapi apabila ia
sudah mampu, tetapi ia menunda-nunda pembayaran utangnya, maka mereka termasuk
orang yang zalim.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang
memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uang) karena pengunduran
janji pembayaran oleh peminjaman dari waktu yang telah ditentukan (pendapat
Syekh Muhammad Abdul).
2.
Hukum Riba adalah haram, meskipun itu orang yang menyatat saja. Semua orang
yang bersangkut paut dengan riba, maka orang tersebut termasuk orang yang
melakukan riba.
3.
Riba ada 2 macam yaitu Riba Nasihah, dan Riba fadhal
4.
Dilarangnya riba karena demi kemaslahatan masyarakat
5.
Qardh adalah suatu akad antara dua belah pihak, dimana pihak pertama
memberikan uang atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan
ketentuan uang atau barang uang tersebut harus dikembalikan persis seperti yang
ia terima dari pihak pertama.
6.
Rukun Qardh ada 3 yaitu aqid, ma’qud ‘alaih, dan shigat
7.
Syarat bagi muqtaridh ada 3 yaitu ahliyah atau kecakapan untuk melakukan
tabarru’, dan memiliki pilihan dan syarat bagi muqtaridh adalah memilki
kecakapan dalam muamalat
8.
Hukum utang dibolehkan seperti jual beli
DAFTAR PUSTAKA
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqih Muamalah. Jakarta:Amzah. 2010.
Sayikh
Muhammad bin Ibrahim Bin Abdullah At-Tuwaijiri. Ensiklopedi Islam Al-kamil.Jakarta:
Darus Sunnah. 2011.
Rasjid Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung:Sinar Baru
Algensindo. 2010.
Mas’ud. Fiqih Madzab Syafi’i. Bandung: CV Pustaka
Setia. 2007.
Baqi Muhammad Fuad abdul. Kumpulan Hadits Shahih
Bukhari Muslim. Jawa Tengah: Darul Hadits Qahirah. 2014.
[1] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah. (Jakarta: Amzah). Cet.
1. Hlm. 257.
[2] Mas’ud. Fiqih Madzab Syafi’i. (Bandung: CV Pustaka Setia). Hlm. 80
[3] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah. (Jakarta: Amzah). Cet.
1. Hlm 261.
[4]Sayikh Muhammad bin Ibrahim Bin Abdullah At-Tuwaijiri,
Ensiklopedi Islam Al-kamil.(Jakarta: Darus Sunnah) hlm.909-910
[5] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah. (Jakarta: Amzah). Cet.
1. Hlm. 264-265.
[6] Sayikh Muhammad bin Ibrahim Bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi
Islam Al-kamil.(Jakarta: Darus Sunnah) hlm. 917.