Selasa, 01 Desember 2015

makalah Konsep Hubungan Antar Agama dalam Al-Qur'an



Konsep Hubungan Antar Agama dalam Al-Qur’an
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Tafsir 1”

DosenPengampu:
Abdullah Affandi, M.S.I




Disusun Oleh:
1.      Ika Anjariyah                          (932101714)
2.      Sylvina Dwi Nugrahawati      (932120614)
3.      Tutut Wijayanti                       (932121014)
4.      Apriliya Zaenab                      (932124214)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
                   JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
TahunAkademik 2014/2015





PEMBAHASAN

Konsep Hubungan Antar Agama dalam Al-Quran

   A.    Sikap Al-Qur’an/ muslim terhadap ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani/ non muslim)

Surah Ali-Imran ayat 64
أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشْهَدُواْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ قُلْ يَا
Artinya:
“Katakanlah (Muhammad): "Wahai Ahli Kitab, marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka),  "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang muslim.” (QS. Ali-Imran: 64)[1]

Tafsir Surat Ali-Imran ayat 64
Katakanlah: ”Hai ahli kitab, marilah kepada kata yang sama antara kami dan kamu.”
Yaitu, katakanlah: ”Wahai ahli kitab, marilah dan pikirkanlah kalimat yang telah sama disepakati oleh para Rasul dan Semua Kitab suci yang diturunkan kepada mereka. Begitu pulalah yang diperintahkan melalui Taurat, Injil, dan Al-Qur’an.” Kemudian Allah jelaskan maksud dari kalimat ini dengan Firman-Nya:
“(Yaitu) bahwa tiada yang kita sembah, kecuali Allah dan tiada kita mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan tiada sebagian kita mengangkat yang lain menjadi Tuhan, selain dari Allah.”
Yaitu kita jangan tunduk, kecuali hanya kepada Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak di dalam menetapkan hukum, yang memiliki wewenang menghalalkan dan mengharamkan. Dan kita jangan menyekutukan-Nya dengan apapun. Dan janganlah sebagian kita sampai menjadikan yang lain sebagai Tuhan selain dari Allah.
Ayat ini berisikan pernyataan keesaan Tuhan dengan firman-Nya: ”Bahwa yang tiada kita sembah, kecuali Allah.” Dan pernyataan keesaan dalam sifat Rububiyah dengan firman-Nya:”Dan tiada sebagian kita mengangkat yang lain menjadi Tuhan, selain dari Allah.”
“Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka:”Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”
Jika mereka menjauhi dakwah ini dan enggan menerimanya, bahkan tetap menyembah selain Allah, mengadakan sekutu, perantara (mediator), dan pendeta-pendeta yang menetapkan halal dan haram dengan kemauan sendiri, maka katakanlah kepada mereka: ”Kami ini adalah orang-orang yang patuh kepada Allah secara ikhlas, tidak mau menyembah siapapun selain-Nya, tidak menengadahkan diri kepada yang lain guna meminta sesuatu yang berguna atau menjauhkan sesuatu mala petaka. Kami hanya menghalalkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan hanya mengaramkan sesuatu yang diharamkan Allah.
Ayat ini merupakan prinsip dan pokok yang diserukan Nabi Saw kepada Ahli Kitab, agar diterapkan ketika mereka diajak masuk Islam, sebagaimana halnya dapat dibuktikan dari surat-surat beliau kepada beberapa Raja Kristen, misalnya Heraclius.[2]

B.   Cara Berdebat/ Berinteraksi dengan ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani / non muslim)
Surah Al-Ankabut ayat 46
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آَمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Artinya:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik,  kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu Tuhan kami dan Tuhan kamu satu dan hanya kepada-Nya kami berserah diri (taat).”  (Q.S Al-Ankabut : 64)
Penjelasan ayat
Seperti mengajak kepada allah dengan ayat-ayatnya dan mengingatkan hujjah-hujjahnya.
Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim ialah orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan. Ada pula yang menafsirkan tentang orang-orang yang zalim, yaitu orang-orang yang malah memerangi dan enggan membayar jizyah (pajak), maka bantah mereka dengan pedang (perang) sampai mereka mau masuk Islam atau membayar jizyah. Sedangkan menurut yang lain, bahwa ayat ini tetap berlaku hukumnya, yakni bagi orang yang ingin mengkaji lebih lanjut terhadap agama Islam dari kalangan mereka, maka dilakukan perdebatan dengan cara yang baik. Syaikh As Sa’diy berkata, “Allah Subhaanahu wa Ta'aala melarang mendebat Ahli Kitab jika pendebatnya tidak di atas ilmu atau tidak di atas kaidah yang diridhai, dan melarang mereka agar tidak berdebat kecuali dengan cara yang baik seperti akhlak yang baik, lembut dan tutur kata yang halus.
Yakni hendaknya perdebatan kamu dengan Ahli kitab didasari atas iman kepada kitab yang diturunkan kepada kamu dan kitab yang diturunkan kepada mereka. Demikian juga di atas keimanan kepada rasul kamu dan rasul mereka serta di atas dasar bahwa Tuhan yang berhak disembah hanya satu, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Janganlah perdebatan kamu dengan mereka malah mencacatkan salah satu di antara kitab-kitab yang diturunkan atau salah seorang rasul sebagaimana yang dilakukan orang yang jahil terhadap lawannya sampai-sampai ia mencacatkan semua yang ada pada mereka, yang hak maupun yang batil. Ini adalah kezaliman dan keluar dari yang wajib serta keluar dari adab berdebat. Karena yang wajib adalah membantah kebatilan yang ada pada orang yang berdebat dan menerima kebenaran yang ada padanya dan jangan sampai ia menolak yang hak karena ucapannya meskipun kafir. Di samping itu mendasari perdebatan dengan mereka di atas dasar ini membuat mereka mengakui Al Qur’an dan Rasul yang membawanya. Hal itu, karena apabila berbicara tentang dasar-dasar agama yang disepakati oleh para nabi dan rasul serta disepakati oleh semua kitab, lalu dasar-dasar itu diakui semua pihak, di mana kitab-kitab yang diturunkan dan para rasul yang diutus menerangkan sama dengan yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Al Qur’an, maka yang demikian menghendaki untuk membenarkan semua kitab dan semua rasul, dan inilah di antara keistimewaan Islam. Adapun jika dikatakan, “Kami beriman dengan kitab yang dibawa rasul ini, tidak rasul yang itu, padahal ia juga hak dan membenarkan kitab sebelumnya, maka ia berarti zalim dan berbuat tidak adil, dan secara tidak langsung ia juga mendustakan kitab yang diturunkan kepada rasul yang ia sebutkan, karena barang siapa mendustakan Al Qur’an yang sama menunjukkan seperti yang ditunjukkan kitab sebelumnya, bahkan membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, maka sama saja ia mendustakan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.
Oleh karena itu, barang siapa yang beriman kepada-Nya, menjadikan-Nya sebagai Tuhannya yang disembah, beriman kepada semua kitab dan semua rasul, tunduk kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, maka dia adalah orang yang berbahagia, dan barang siapa yang menyimpang daripadanya, maka dia adalah orang yang celaka.

    C. Sikap Berbuat Baik/ Adil dan Keras terhadap ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani/ non muslim)
Surah Al-Mumtahana ayat 7-9
عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (7) لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)

Terjemahan:
(7) Mudah-mudahan Allah akan menimbulkan kasih-sayang diantara kamu dengan orang-orang yang  pernah kamu musuhi diantara mereka itu; Allah Maha Kuasa; dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
(8) Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
(9) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu  menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.

Tafsiran Ayat:
            Sesungguhnya Islam adalah agama yang damai dan akidah yang penuh dengan cinta. Menghimpun manusia sebagai sesama saudara yang saling mengenal dan mencintai. Sedangkan, apabila musuh-musuh orang Islam mengikat perjanjian damai, maka Islam tidak menganjurkan sama sekali untuk bermusuhan.[3]
            Allah SWT berfirman kepada hamba-hamba-Nya yang beriman setelah menyuruh mereka memusuhi orang-orang kafir, “mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dan orang-orang yang kamu musuhi diantara mereka.” Yaitu cinta setelah benci dan keterikatan hati setelah keterasingannya. “Dan Allah adalah Mahakuasa.” Mahakuasa untuk menyatukan perkara-perkara yang saling bertentangan, sehingga ia dapat melunakkan hati yang sebelumnya terjadi permusuhan menjadi bersaudara. Selanjutnya, Allah berfirman, “Dan Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang,” yaitu Allah akan memberikan ampunan kepada orang-orang kafir apabila mereka bertobat kepada Tuhan mereka dan tunduk kepada-Nya.[4]
Allah SWT berfirman, “ Allah tidak melarang untuk berbuat baik dan berbuat adil  terhadap orang-orang yang memerangimu kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. “Yaitu mereka bahu-membahu dalam mengusirmu. Maksudnya, Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangimu karena agama dan mengusir dari negerimu. Maka, kamu diperbolehkan untuk berbuat baik dan adil kepada mereka, asalkan mereka tidak memerangimu atas nama agama, tidak mengusirmu dari kampung halamanmu, tidak membantu musuh-musuh kita dengan bantuan apapun, baik dengan ikut serta bermusyawarah, menyumbangkan pikiran, apalagi dengan bantuan tenaga dan senjata. [5]
Allah SWT berfirman, “Sesungguhynya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusirmu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.” Yaitu yang dilarang Allah hanyalah berkawan dengan orang-orang yang telah menancapkan permusuhan kepadamu, kemudian mereka memerangi dan mengusirmu, dan meminta bantuan orang lain untuk mengusirmu. Allah melarang berkawan dengan kaum seperti itu dan memerintahkan untuk memusuhi mereka.
            Kemudian Allah menegaskan mengancam bagi orang yang berkawan dengan mereka dalam firmann-Nya. “Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” Penggalan ini seperti firman-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai kawan. Dan barangsiapa di antara kamu yang berkawan dengan mereka, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

    D. Sikap Bertoleransi dalam Keyakinan dan Ibadah dengan Orang Kafir atau Non Muslim
Surah Al-Kafirun ayat 1-6
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

Terjemahan
  1. Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! 
  2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
  3. Dan kamu bukan penyembah apayang aku sembah. 
  4. Dan aku tidak pernaah menjadi penyembah apa yang kamu sembah
  5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah
  6. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Kosakata: ‘Abid عا بد (al-Kafirun/109: 4)
Kata abid merupakan bentuk fa’il (kata yang menunjuk pelaku) dari kata kerja ‘abadaa-ya’budu, yang artinya menyembah atau beribadah. Dengan demikian, ‘abid diartikan sebagai penyembah. Bila dikaitkan dengan subjek atau pelaku yang dimaksud dari kata ini, maka hal itu menunjuk kepada Rasulullah SAW.Ada mufasir yang berpendapat bahwa antara kandungan ayat ke 4 ini tidak berbeda dari makna yang terdapat pada ayat ke dua. Pendapat ini jelas tidak tepat, sebab ada ke duanya terdapat perbedaan penyebutan kata kerja ibadahnya. Pada ayat ke dua ungkapan yang di pergunakan untuk menunjuk pada penyembahan mempergunakan kata kerja lampau (fi’il madhi) yang berfungsi menerangkan sesuatu yang lalu, sedangkan sekarang atau yang akan datang tidak seperti itu. Sedang pada ayat ke 4 yang di gunakan kata kerja bentuk sekarang (fi’il mudhari). Ini mengisyaratkan bahwa yang di sembah orang musyrik pada waktu yang lalu ada kemungkinan berbeda dari yang di sembah saat ini atau yang akan datang. Sedang ‘abid, yang terdapat pada ayat ke 4 ini menyatakan konsistensi nabi dalam beribadah, seperti yang di tunjukkan pada ayat ke 3dan 5, yang menggunakan bentuk sama, yaitufi’il mudhari ataukata kerja masa kini dan yang akan datang (a’budhu).

Munasabah
Pada akhir surat alkausar di jelaskan bahwa orang yang membenci nabi Muhammad akan terputus. Pada awal surah al-kafirun, Rasullullah SAW di perintahkan bersikap tegas kepada orang yang ingkar kepada Allah.

Sabab nuzul
Telah di riwayatkan bahwa al-walin dan al-mughirah, al-‘As bin Wa’il As-sahmi, Al-Aswad bin Abdull muthalib dan Umayyah bin Khalaf bersama rombongan pembesar-pembesar Quraisy datang menemui nabi SAW dan menyatakan,” hai Muhammad ! marilah engkau mengikuti agama kami dan kami mengikuti agamamu dan engkau bersama kami dalam semua masalah yang kami hadapi, engkau menyembah Tuhan kami setahun dan kami menyembah Tuhanmu setahun. Jika agama yang engkau bawa itu benar, maka kami berada bersamamu dan mendapat bagian darinya, dan jika ajaran yang ada pada kami itu benar, maka engka telah bersekutu pula dengan kami dan engkau akan mendapat bagian pula daripadanya,” beliau menjawab,” Aku berlindung kepada Allah dari mempersekutu kanNya.” Lalu turunlah surat al-kafirun sebagai jawaban terhadap ajakan mereka
             Kemudian nabi SAW pergi ke masjidil haram menemui orang-orang qurais yang sedang berkumpul disana dan membaca surat al-kafirun ini, maka mereka berputus asa untuk dapat bekerja sama dengan nabi SAW sejak itu mulailah orang-orang quraisy meningkatkan permusuhan mereka kepada nabi dengan menyakiti Beliau dan para sahabatnya,sehingga tiba masanya hijrah ke madinah.

Tafsir
            (1-2) dalam ayat-ayat ini Allah memerintahkanNabi Muhammad agar menyatakan kepada orang-orang kafir bahwa “Tuhan” yang mereka sembah bukanlah Tuhan yang ia sembah, karena mereka menyembah tuhan yang memerlukan pembantu dan mempunyai anak atau menjelma dalam suatu bentuk atau dalam sesuatu rupa atau bentuk-bentuk lain yang mereka dakwakan. Sedang Nabi SAW menyembah Tuhan yang tidak ada tandingannya dan tidak ada sekutu bagiNya, tidak mempunyai anak dan istri. Akal tidak sanggup menerka bagaimana Dia, tidak di tentukan oleh tempat dan tidak terikat oleh masa, tidak memerlukan perantaraan dan tidak pula memerlukan penghubung.
            Maksud pernyataan itu adalah terdapat perbedaan yang sangat besar antara Tuhan yang di sembah orang-orang kafir dengan Tuhan yang di sembah Nabi Muhammad.mereka menyifati Tuhannya dengan sifat-sifat yang tidak layak sama sekali bagi tuhan yang di sembah oleh Nabi.
            (3) selanjutnya Allah menambahkan lagi pernyataan yang di perintahkan untuk di sampaikan kepada orang-orang kafir dengan menyatakan bahwa mereka tidak menyembah Tuhan yang di dakwahkan Nabi Muhammad, karena sifat-sifatNya berlainan dengan sifat-sifat Tuhan yang mereka sembah dan tidak mungkin di pertemukan antara kedua macam sifat tersebut.
            (4-5) Sesudah Allah menyatakan tentang tidak mungkin ada persamaan dalam sifat antara Tuhan yang di sembah oleh Nabi SAW dengan yang di sembah oleh orang-orang kafir, maka dengan sendirinya tidak ada pula persamaan dalam hal ibadah. Tuhan yang di sembah Nabi Muhammad adalah Tuhan yang maha suci dari sekutu dan tandingan, tidak menjelma menjadi seseorang atau memihak kepada suatu bangsa atau orang tertentu. Sedangkan Tuhan yang mereka sembah itu berbeda dari Tuhan yang tersebut di atas. Lagi pula ibadah Nabi hanya untuk Allah saja, sedangkan ibadah mereka bercampur dengan syirik dan di campuri kelalaiaan dari Allah, maka yang demikian itu tidak di namakan ibadah.
            (6) kemudian dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang kafir dengan firmannya yaitu,”Bagi kamu balasan atas amal perbuatanmu dan bagiku balasan atas amal perbuatanku.”



  

 DAFTAR PUSTAKA
 
Al-Jazairi, Abu Bakar. Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari Hatim dan Mukti. (Jakarta: Darus Sunnah Press). 2006.
Al-Maragi, Syekh Ahmad Mustafa. Tarjamah Tafsir al-Maragi Juz 3, alih bahasa M. Thalib. (Bandung: CV. Rosda Bandung). 1987.
Al-Rifa’i, Muhammad Nasib. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Iktishari Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4. (Jakarta: Gema Insani Press). 2000.
Kementerian Agama RI.  Al-Qur’an  Tajwid dan Terjemahnya. (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanlema). 2010
Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an. (Jakarta: Gema Insani). 2004.



[1] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an  Tajwid dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanlema, 2010), hlm. 58
[2] Syekh Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tarjamah Tafsir al-Maragi Juz 3, alih bahasa M. Thalib, (Bandung: CV. Rosda Bandung, 1987), hlm. 232-235
[3] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 239.
[4] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Iktishari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 673.
[5] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari Hatim dan Mukti, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), 401-402.

2 komentar: